(sebuah kisah cinta beda prinsip)
Aku hanya seorang pemuda yang kebetulan berada di sebuah
fakultas favorit di salah satu universitas terbaik di kota tempat tinggalku.
Semuanya berjalan dengan apa adanya sampai seorang gadis bernama Uki datang ke
dalam kehidupanku pada tahun kedua aku berada di kampus.
Sebenarnya dia hanya sosok wanita biasa bagi kebanyakan
orang, namun itulah kekuatan cinta pada pandangan pertama, bagiku dia seperti
dewi malamku dan ratu di siang hariku, melihatnya tersenyum membuatku dapat
tersenyum tanpa ada alasan untuk menyimpulkan kedua bibirku dan bagiku menatap
matanya bagaikan melihat jauh ke masa depan yang penuh dengan cinta dan kasih
yang tak terbatas.
Pikirku butuh banyak keberanian tentunya untuk hanya
sekedar menyapa dan mendengar lembut suaranya.
Cukup lama aku berdiri menatap wajahnya siang hari itu,
dan entah dari mana datangnya keberanian itu, tapi aku tak perduli, yang aku
tahu adalah aku telah menjadi seorang pejuang cinta sejati saat aku
mengungkapkan isi hatiku padanya dan dibalasnya dengan senyuman manis sambil berbisik pelan,
“biarlah kamu yang menjadi penjaga di hatiku”, akupun menjawab “aku bukan hanya
akan menjaga hatimu, aku juga akan menjadi pelayan di hatimu yang akan selalu
membersihkan setiap debu sakit hati dan bercak kekecewaan yang melekat di
dinding hatimu”.
Kisah cinta yang kujalani bersamanya merupakan kisah
paling indah yang menghiasi tiap relung hatiku, sehingga rasa penat pun tak
sanggup merembes masuk melewati celah hatiku yang dipenuhi cinta akan Neta sang
dewi malamku. Tak ada waktu yang kulewatkan tanpa dirinya, tak ada kata yang
keluar dari mulutku tanpa memuji indah hadirnya, semua yang kujalani terasa
indah saat bersama dengannya.
Bulan demi bulan berlalu, kehadiranku tanpa dirinya di sisiku
adalah sebuah kemustahilan, dimana ada aku di situ pula dia hadir sebagai
pelengkap tiap langkahku. Sampai pada suatu hari dia memberanikan diri untuk
bertanya padaku “ehm…Enda, kamu mau kan kalo kuajak bertemu dengan kedua orang
tuaku, soalnya ada yang mau mereka bicarakan denganmu”, awalnya aku sempat
kaget dan gugup, tapi aku lalu berpikir, mungkin ini baik juga demi
kelangsungan hubungan kami, jadi aku dengan mantap mengiyakan keinginannya
untuk bertemu orang tuanya.
Malam itu, setelah berulang kali berdiri di depan cermin
tua peninggalan kakekku, aku berangkat ke rumah orang tuanya.
Sesampainya aku di depan rumahnya, rasa gugup dan resah
bercampur menjadi satu, seakan mengoyak isi perutku sehingga ingin rasanya aku
kembali pulang saja, apalagi kedua kakiku ikut-ikutan tak mau menuruti perintah
otakku yang sedang memikirkan hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi. Tapi
demi cintaku yang tulus padanya, pagar berduri pun akan kulewati.
Walaupun begitu berat terasa langkah ini aku terus maju
menyusuri halaman rumahnya yang dipenuhi tanaman hias, kuketuk daun pintu
rumahnya, sambil berharap bukan salah satu dari orang tuanya yang menyambutku,
karena tampangku sedang kacau akibat perut dan dadaku yang rasanya sudah
menyatu saking gugupnya.
Sekali lagi kuketuk pintu dan berharap ada sahutan dari
suara yang kukenal baik datang dari balik pintu ini, mungkin karena perasaan
cinta yang begitu dalam terpatri dalam hingga bunyi langkah kakinya pun sangat
kukenal dengan baik.
“ayo masuk, papa dan mama sudah menunggu di meja makan”,
katanya dari balik daun pintu, rasa sesak itu semakin mendesak keluar dan
membuatku tak bicara bahkan membalas sapaan orang tuanya saat aku menuju meja
makan yang telah dipenuhi menu makanan yang ternyata disiapkan khusus untuk
menyambut kedatanganku. Perkenalan malam itu berlangsung biasa saja, karena
ayahnya sibuk dengan hidangan yang tersedia di depannya. Setelah kami
menyelesaikan makanan penutup, kami menuju ruang keluarga, untuk memulai
perbincangan, sementara dia dan ibunya sibuk membereskan perlengkapan makan,
aku dan ayahnya duduk terdiam di ruang keluarga, entah kenapa aku seperti
sedang berdiri di depan sebuah papan yang bertuliskan “DILARANG BERBICARA”,
karena seakan aku tak mampu menembus tembok pemisah antara aku dan ayahnya,
dengan sedikit kenekatan aku pun mulai mencoba membuka tabir pemisah dengan
pertanyaan yang akhirnya kusadari sebagai pertanyaan yang paling bodoh yang
penah kukatakan, “ehm…om dan tante dulu bertemunya dimana?”. Dengan mata
tertuju tajam padaku, ayahnya tersenyum padaku, entah cuma perasanku saja atau
memang begitu adanya, senyum itu begitu dingin dan penuh kesinisan, lalu
terdengar suara yang penuh wibawa keluar dari mulut lawan bicaraku yang begitu
penuh dengan hawa menakutkan bagiku “kami berdua sudah dijodohkan dari kecil,
jadi memang sudah sangat mengenal satu sama lain, jadi om pun berharap anak om
akan menikah dengan cara dijodohkan, tentunya dengan yang sealiranlah”.
Dadaku yang rasanya sesak seakan meledak, entah karena
akhirnya kami berdua sudah mulai berkomunikasi, atau mungkin karena kalimat
terakhir tentang perjodohan yang begitu menusuk bagai sebuah belati yang
lansung mengenai dinding jantungku kemudian ditarik kembali sebelum sempat
mengoyak hancur jantungku, tapi itu sudah cukup untuk melukai hati dan
jantungku.
Saat itu rasanya aku baru terbangun dari semua hayalanku,
aku baru tersadar bahwa aku dan dia memang berbeda dalam keyakinan, Kepalaku seakan
begitu ringan, tak ada lagi tempat di kepalaku yang bisa kugunakan untuk
berpikir lebih jernih, semua pikiranku seakan terangkat habis bersama semua
hayalan dan harapanku akan sebuah kehidupan percintaan yang akan kujelang,
pelaminan yang kuimpikan berganti jadi sebuah kamar sempit yang mengurung semua
impianku, kamar gelap yang penuh dengan lumut kekecewaan yang melekat kuat
dalam tembok perasaanku yang mulai merapuh.
Perkataan ayah Neta malah berlanjut dengan permintaan
ibunya untuk tidak menemui Neta lagi karena perbedaan prinsip antara kami berdua.
Malam itu, Neta hanya dapat terdiam dan menahan kesedihan di hatinya, aku hanya
dapat melihat matanya yang penuh dengan keterkejutan. Setelah malam itu, aku
tak pernah lagi bersama-sama dengan Neta.
Lebih banyak kesendirian lagi yang kujalani tanpa dirinya
di sisiku, anehnya aku tak bisa membuka hatiku untuk perempuan lain. Sepertinya
hatiku tidak mengikuti kemauanku, hatiku masih menginginkan dia namun rasa
takut akan perbedaan itu lebih besar menahan asaku untuk kembali bersama dengan
dirinya.
Akhirnya rasa takut akan perbedaan itu menguasai hatiku
dan menahan asaku untuk bersama dengannya. Dan kemudian aku membuat keputusan
untuk melupakan dirinya, meninggalkan kenangan indah bersamanya dalam ruang
hampa pikiranku, sehingga tak akan sempat aku untuk kembali mengingatnya, sebab
kembali pada kenangan akan dirinya semakin mengoyak hatiku.
Namun aku percaya, walaupun hatiku telah hancur
berkeping-keping, aku akan tetap mencintainya dengan setiap kepingan hatiku
yang telah hancur itu.
Sebab
aku percaya Tuhanku tak pernah melarangku untuk menjadi pelayan di hatimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar