Senin, 12 Maret 2012

APAKAH TUHANKU MELARANGKU MENJADI PELAYAN DI HATIMU

(sebuah kisah cinta beda prinsip)

Aku hanya seorang pemuda yang kebetulan berada di sebuah fakultas favorit di salah satu universitas terbaik di kota tempat tinggalku. Semuanya berjalan dengan apa adanya sampai seorang gadis bernama Uki datang ke dalam kehidupanku pada tahun kedua aku berada di kampus.
Sebenarnya dia hanya sosok wanita biasa bagi kebanyakan orang, namun itulah kekuatan cinta pada pandangan pertama, bagiku dia seperti dewi malamku dan ratu di siang hariku, melihatnya tersenyum membuatku dapat tersenyum tanpa ada alasan untuk menyimpulkan kedua bibirku dan bagiku menatap matanya bagaikan melihat jauh ke masa depan yang penuh dengan cinta dan kasih yang tak terbatas.
Pikirku butuh banyak keberanian tentunya untuk hanya sekedar menyapa dan mendengar lembut suaranya.
Cukup lama aku berdiri menatap wajahnya siang hari itu, dan entah dari mana datangnya keberanian itu, tapi aku tak perduli, yang aku tahu adalah aku telah menjadi seorang pejuang cinta sejati saat aku mengungkapkan isi hatiku padanya dan dibalasnya dengan  senyuman manis sambil berbisik pelan, “biarlah kamu yang menjadi penjaga di hatiku”, akupun menjawab “aku bukan hanya akan menjaga hatimu, aku juga akan menjadi pelayan di hatimu yang akan selalu membersihkan setiap debu sakit hati dan bercak kekecewaan yang melekat di dinding hatimu”.
Kisah cinta yang kujalani bersamanya merupakan kisah paling indah yang menghiasi tiap relung hatiku, sehingga rasa penat pun tak sanggup merembes masuk melewati celah hatiku yang dipenuhi cinta akan Neta sang dewi malamku. Tak ada waktu yang kulewatkan tanpa dirinya, tak ada kata yang keluar dari mulutku tanpa memuji indah hadirnya, semua yang kujalani terasa indah saat bersama dengannya.  
Bulan demi bulan berlalu, kehadiranku tanpa dirinya di sisiku adalah sebuah kemustahilan, dimana ada aku di situ pula dia hadir sebagai pelengkap tiap langkahku. Sampai pada suatu hari dia memberanikan diri untuk bertanya padaku “ehm…Enda, kamu mau kan kalo kuajak bertemu dengan kedua orang tuaku, soalnya ada yang mau mereka bicarakan denganmu”, awalnya aku sempat kaget dan gugup, tapi aku lalu berpikir, mungkin ini baik juga demi kelangsungan hubungan kami, jadi aku dengan mantap mengiyakan keinginannya untuk bertemu orang tuanya.
Malam itu, setelah berulang kali berdiri di depan cermin tua peninggalan kakekku, aku berangkat ke rumah orang tuanya.
Sesampainya aku di depan rumahnya, rasa gugup dan resah bercampur menjadi satu, seakan mengoyak isi perutku sehingga ingin rasanya aku kembali pulang saja, apalagi kedua kakiku ikut-ikutan tak mau menuruti perintah otakku yang sedang memikirkan hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi. Tapi demi cintaku yang tulus padanya, pagar berduri pun akan kulewati.
Walaupun begitu berat terasa langkah ini aku terus maju menyusuri halaman rumahnya yang dipenuhi tanaman hias, kuketuk daun pintu rumahnya, sambil berharap bukan salah satu dari orang tuanya yang menyambutku, karena tampangku sedang kacau akibat perut dan dadaku yang rasanya sudah menyatu saking gugupnya.
Sekali lagi kuketuk pintu dan berharap ada sahutan dari suara yang kukenal baik datang dari balik pintu ini, mungkin karena perasaan cinta yang begitu dalam terpatri dalam hingga bunyi langkah kakinya pun sangat kukenal dengan baik.
“ayo masuk, papa dan mama sudah menunggu di meja makan”, katanya dari balik daun pintu, rasa sesak itu semakin mendesak keluar dan membuatku tak bicara bahkan membalas sapaan orang tuanya saat aku menuju meja makan yang telah dipenuhi menu makanan yang ternyata disiapkan khusus untuk menyambut kedatanganku. Perkenalan malam itu berlangsung biasa saja, karena ayahnya sibuk dengan hidangan yang tersedia di depannya. Setelah kami menyelesaikan makanan penutup, kami menuju ruang keluarga, untuk memulai perbincangan, sementara dia dan ibunya sibuk membereskan perlengkapan makan, aku dan ayahnya duduk terdiam di ruang keluarga, entah kenapa aku seperti sedang berdiri di depan sebuah papan yang bertuliskan “DILARANG BERBICARA”, karena seakan aku tak mampu menembus tembok pemisah antara aku dan ayahnya, dengan sedikit kenekatan aku pun mulai mencoba membuka tabir pemisah dengan pertanyaan yang akhirnya kusadari sebagai pertanyaan yang paling bodoh yang penah kukatakan, “ehm…om dan tante dulu bertemunya dimana?”. Dengan mata tertuju tajam padaku, ayahnya tersenyum padaku, entah cuma perasanku saja atau memang begitu adanya, senyum itu begitu dingin dan penuh kesinisan, lalu terdengar suara yang penuh wibawa keluar dari mulut lawan bicaraku yang begitu penuh dengan hawa menakutkan bagiku “kami berdua sudah dijodohkan dari kecil, jadi memang sudah sangat mengenal satu sama lain, jadi om pun berharap anak om akan menikah dengan cara dijodohkan, tentunya dengan yang sealiranlah”.
Dadaku yang rasanya sesak seakan meledak, entah karena akhirnya kami berdua sudah mulai berkomunikasi, atau mungkin karena kalimat terakhir tentang perjodohan yang begitu menusuk bagai sebuah belati yang lansung mengenai dinding jantungku kemudian ditarik kembali sebelum sempat mengoyak hancur jantungku, tapi itu sudah cukup untuk melukai hati dan jantungku.
Saat itu rasanya aku baru terbangun dari semua hayalanku, aku baru tersadar bahwa aku dan dia memang berbeda dalam keyakinan, Kepalaku seakan begitu ringan, tak ada lagi tempat di kepalaku yang bisa kugunakan untuk berpikir lebih jernih, semua pikiranku seakan terangkat habis bersama semua hayalan dan harapanku akan sebuah kehidupan percintaan yang akan kujelang, pelaminan yang kuimpikan berganti jadi sebuah kamar sempit yang mengurung semua impianku, kamar gelap yang penuh dengan lumut kekecewaan yang melekat kuat dalam tembok perasaanku yang mulai merapuh.
Perkataan ayah Neta malah berlanjut dengan permintaan ibunya untuk tidak menemui Neta lagi karena perbedaan prinsip antara kami berdua. Malam itu, Neta hanya dapat terdiam dan menahan kesedihan di hatinya, aku hanya dapat melihat matanya yang penuh dengan keterkejutan. Setelah malam itu, aku tak pernah lagi bersama-sama dengan Neta.
Lebih banyak kesendirian lagi yang kujalani tanpa dirinya di sisiku, anehnya aku tak bisa membuka hatiku untuk perempuan lain. Sepertinya hatiku tidak mengikuti kemauanku, hatiku masih menginginkan dia namun rasa takut akan perbedaan itu lebih besar menahan asaku untuk kembali bersama dengan dirinya.
Akhirnya rasa takut akan perbedaan itu menguasai hatiku dan menahan asaku untuk bersama dengannya. Dan kemudian aku membuat keputusan untuk melupakan dirinya, meninggalkan kenangan indah bersamanya dalam ruang hampa pikiranku, sehingga tak akan sempat aku untuk kembali mengingatnya, sebab kembali pada kenangan akan dirinya semakin mengoyak hatiku.
Namun aku percaya, walaupun hatiku telah hancur berkeping-keping, aku akan tetap mencintainya dengan setiap kepingan hatiku yang telah hancur itu.
Sebab aku percaya Tuhanku tak pernah melarangku untuk menjadi pelayan di hatimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar