“Ketahuilah dengan pasti, engkau
yang terkecil dari antara putera-puteraku, bahwa Aku adalah Santa Maria yang
sempurna dan Perawan selamanya, Bunda Yesus, Allah yang benar, melalui Siapa
segala sesuatu hidup, Tuhan dari segala yang dekat dan yang jauh, Tuhan atas
surga dan bumi. Adalah kerinduanku yang sungguh agar sebuah bait didirikan di sini
demi menghormatiku. Di sinilah aku akan menunjukkan, aku akan menyatakan, aku
akan memberikan segenap cintaku, segenap belas kasihku, pertolonganku dan
perlindunganku kepada manusia. Aku adalah Bundamu yang berbelas kasihan, Bunda
yang berbelas kasihan dari kalian semua yang tinggal bersatu di negeri ini, dan
dari segenap umat manusia, dari segenap mereka yang mengasihiku, dari mereka
yang berseru kepadaku, dari mereka yang mencariku, dan dari mereka yang menaruh
kepercayaannya kepadaku. Di sinilah aku akan mendengar tangis mereka,
keluh-kesah mereka dan akan menolong serta meringankan segala macam
penderitaan, kebutuhan dan kemalangan mereka”.
Demikianlah
titah yang disampaikan oleh ibu yang terpuji diantara para ibu kepada seorang
petani Indian berusia 57 tahun Pagi hari itu, 9 Desember 1531. Sedang dalam
perjalanannya ke Misa; Juan Diego menyusuri jalanan di Bukit Tepeyac, ia mulai
mendengar suatu alunan musik nan merdu, dan ia melihat seorang perempuan cantik
rupawan, yang memanggil namanya, “Juanito, Juan Dieguito.” Ia datang mendekat,
dan perempuan itu mengatakan, Bunda meminta
Juan Diego untuk menyampaikan kepada Uskup Zumarraga perihal
keinginannya agar sebuah gereja didirikan di tempat itu. Menurut tradisi, Juan
Diego mempertanyakan nama Bunda Maria. Ia menjawab dalam bahasa ibu Juan Diego,
bahasa Nahuatl, “Tlecuatlecupe,” yang artinya “ia yang meremukkan kepala ular”
(referensi yang jelas menunjuk pada Kitab Kejadian 3:15 dan mungkin pada simbol
utama kepercayaan Aztec). “Tlecuatlecupe” apabila diucapkan dengan lafal yang
benar, bunyinya mirip dengan “Guadalupe.” Sebab itu, ketika Juan Diego
menyampaikan kepada Uskup Zumarraga mengenai nama perempuan itu dalam bahasa
ibunya, kemungkinan ia keliru dengan “Guadalupe” nama Spanyol yang familiar, sebuah
kota yang terkenal dengan tempat ziarah Bunda Maria. Begitulah sekelumit kisah
historis Santa Perawan Maria dari Guadalupe.
Cuplikan
kisah diatas merupakan sebagian kecil pertemuan yang indah nan sederhana dimana
seorang Perempuan paling berbahagia di muka bumi dengan segala kemulian-NYA,
tanpa malu menunjukkan kesederhanaan untuk mengawali hubungan yang istimewa
dengan makhluk yang menyalibkan putra-NYA sendiri.
Bunda Maria Co- Redemptrix
Berbicara tentang iman kristiani,
tak dapat kita pisahkan dari peran sentral Bunda Maria. Berawal dari salam
perjanjian baru yang diberitakan dengan suka cita oleh Malaikat Gabriel,
membuka meja perjamuan kudus Putra-Nya dengan Darah dan Daging sebagai menu
utama pembebasan umat keturunan Adam yang penuh bermandi peluh Dosa.
Menurut arti sederhananya, Co-
berarti ‘dengan’. Dalam konsep Mariologi maka akan mengalami dekontekstualisasi
makna dimana Co-Redemptrix mengacu kepada; partisipasi Bunda Maria yang tidak
langsung namun sangat penting dalam karya keselamatan Allah bagi manusia. Dalam
arti inilah Bunda Maria bekerja sama dengan Yesus dalam rencana Keselamatan
Allah.
Menyitir tulisan pakar Mariologi,
Mark Miravalle, S.T.D, tentang campur tangan Maria dalam misteri Penebusan Anak
Manusia, ada dua hal yang menarik yaitu:
1. Maria menerima kabar gembira
dari Malaikat Gabriel, yang berupa sebuah ‘undangan’ untuk mengambil bagian
dalam karya Keselamatan Allah, dengan menjadi Ibu bagi Yesus Sang Penyelamat.
Maria menanggapi undangan ini dengan kesediaannya mengizinkan penjelmaan Yesus
menjadi manusia dengan mengambil tempat di dalam rahimNya. “Firman itu telah
menjadi manusia dan diam di antara kita.” (Yoh 1:14)
Dengan demikian Maria menjadi
Hawa yang baru. Sebab oleh ketidak taatan Hawa yang pertama, umat manusia jatuh
ke dalam dosa, sedangkan oleh ketaatan Maria (Hawa yang baru) umat manusia.
Iman Maria menandai dimulainya Perjanjian Baru
2. Maria secara unik
berpartisipasi dalam kurban salib Yesus demi keselamatan umat manusia. Di kaki
salib Kristus, Bunda Maria mempersembahkan kepada Allah hak-hakNya sebagai Ibu,
segala belas kasih, dan penderitaanNya yang tak terlukiskan melihat Putera-Nya
sendiri disiksa sampai wafat.
Maka, dengan mengatakan Maria
sebagai Co-Redemptrix, kita tidak menjadikan Bunda Maria sejajar dengan Yesus
dalam karya Keselamatan. Bunda Maria sendiri tetap memerlukan Yesus sebagai
Juru Selamatnya, dalam hal ini untuk menjadikannya kudus tanpa noda sejak dalam
kandungan, dan karena itu tidak mungkin Bunda Maria memiliki kedudukan yang
sama dengan Yesus.
Sebegitu
besarnya vitalitas keberadaan Maria dalam skenario penyelamatan umat manusia,
namun tak sedikitpun mampu melunturkan keasliaan sosok “Ineffabilis Deus” untuk
canggung masuk dan menyapa kehidupan kita anak-anaknya. Dia adalah sosok Ibu
yang karismatik sekaligus pengasih yang purna.
Mendapat kedudukan yang layak
baik di surga maupun di dunia, namun menyentuh tiap kita tanpa memilahkan
asal-muasal, suku, bangsa, jenis kelamin maupun saldo kredit yang kita
miliki. Merupakan bentuk kesederhaan
yang patut kita “curi” guna melengkapi identitas kita sebagai umat penerus
Jalan Salib Kristus, yang kadang meletakkan sesama kita dalam persperktif parameter duniawi ketika kita membangun
kontak interaksi sosial antar sesama kita.
Tidakah cukup, Bunda Maria
“menikmati” tajamnya bilah yang menikam lambung deritanya kala Putra Allah
wafat dipangkuan air mata sang Ibu?
Hanya sekadar mengingatkan kita bahwa mengkituti jejak Kristus berarti rela memberi diri untuk
menderita. Pula menandaskan bahwa Kasih identik dengan pengorbanan dan
ketulusan dalam meratapi derita?
Namun keadaan ini sangat bertolak
belakang dengan yang kita lakoni dalam pentas kehidupan kita. Terutama kita
yang menyebut diri sebagai anak-anak Bunda maria, kita bahkan membelakangi
tingkah laku yang telah diajarkan-Nya pada kita. Entah dalam keadaan sadar
maupun tidak, kita telah melunasi derita Bunda Maria.
Akankah kita masih mampu meneladani kesederhaan yang dicontohkan oleh
“Dia yang tak bercela” atau setidaknya mampukah kita mengajak “Mahkota
Mawar” tersenyum kala melihat kasih dan
kesederhanaan senantiasa melingkupi kehidupan kita.
Semoga…Amin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar