Senin, 12 Maret 2012

MENENGOK AJARAN BUNDA MARIA TENTANG KESEDERHANAAN


“Ketahuilah dengan pasti, engkau yang terkecil dari antara putera-puteraku, bahwa Aku adalah Santa Maria yang sempurna dan Perawan selamanya, Bunda Yesus, Allah yang benar, melalui Siapa segala sesuatu hidup, Tuhan dari segala yang dekat dan yang jauh, Tuhan atas surga dan bumi. Adalah kerinduanku yang sungguh agar sebuah bait didirikan di sini demi menghormatiku. Di sinilah aku akan menunjukkan, aku akan menyatakan, aku akan memberikan segenap cintaku, segenap belas kasihku, pertolonganku dan perlindunganku kepada manusia. Aku adalah Bundamu yang berbelas kasihan, Bunda yang berbelas kasihan dari kalian semua yang tinggal bersatu di negeri ini, dan dari segenap umat manusia, dari segenap mereka yang mengasihiku, dari mereka yang berseru kepadaku, dari mereka yang mencariku, dan dari mereka yang menaruh kepercayaannya kepadaku. Di sinilah aku akan mendengar tangis mereka, keluh-kesah mereka dan akan menolong serta meringankan segala macam penderitaan, kebutuhan dan kemalangan mereka”.  
Demikianlah titah yang disampaikan oleh ibu yang terpuji diantara para ibu kepada seorang petani Indian berusia 57 tahun Pagi hari itu, 9 Desember 1531. Sedang dalam perjalanannya ke Misa; Juan Diego menyusuri jalanan di Bukit Tepeyac, ia mulai mendengar suatu alunan musik nan merdu, dan ia melihat seorang perempuan cantik rupawan, yang memanggil namanya, “Juanito, Juan Dieguito.” Ia datang mendekat, dan perempuan itu mengatakan, Bunda meminta  Juan Diego untuk menyampaikan kepada Uskup Zumarraga perihal keinginannya agar sebuah gereja didirikan di tempat itu. Menurut tradisi, Juan Diego mempertanyakan nama Bunda Maria. Ia menjawab dalam bahasa ibu Juan Diego, bahasa Nahuatl, “Tlecuatlecupe,” yang artinya “ia yang meremukkan kepala ular” (referensi yang jelas menunjuk pada Kitab Kejadian 3:15 dan mungkin pada simbol utama kepercayaan Aztec). “Tlecuatlecupe” apabila diucapkan dengan lafal yang benar, bunyinya mirip dengan “Guadalupe.” Sebab itu, ketika Juan Diego menyampaikan kepada Uskup Zumarraga mengenai nama perempuan itu dalam bahasa ibunya, kemungkinan ia keliru dengan “Guadalupe” nama Spanyol yang familiar, sebuah kota yang terkenal dengan tempat ziarah Bunda Maria. Begitulah sekelumit kisah historis Santa Perawan Maria dari Guadalupe. 
Cuplikan kisah diatas merupakan sebagian kecil pertemuan yang indah nan sederhana dimana seorang Perempuan paling berbahagia di muka bumi dengan segala kemulian-NYA, tanpa malu menunjukkan kesederhanaan untuk mengawali hubungan yang istimewa dengan makhluk yang menyalibkan putra-NYA sendiri.

Bunda Maria Co- Redemptrix
Berbicara tentang iman kristiani, tak dapat kita pisahkan dari peran sentral Bunda Maria. Berawal dari salam perjanjian baru yang diberitakan dengan suka cita oleh Malaikat Gabriel, membuka meja perjamuan kudus Putra-Nya dengan Darah dan Daging sebagai menu utama pembebasan umat keturunan Adam yang penuh bermandi peluh Dosa. 
Menurut arti sederhananya, Co- berarti ‘dengan’. Dalam konsep Mariologi maka akan mengalami dekontekstualisasi makna dimana Co-Redemptrix mengacu kepada; partisipasi Bunda Maria yang tidak langsung namun sangat penting dalam karya keselamatan Allah bagi manusia. Dalam arti inilah Bunda Maria bekerja sama dengan Yesus dalam rencana Keselamatan Allah.
Menyitir tulisan pakar Mariologi, Mark Miravalle, S.T.D, tentang campur tangan Maria dalam misteri Penebusan Anak Manusia, ada dua hal yang menarik yaitu:
1. Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel, yang berupa sebuah ‘undangan’ untuk mengambil bagian dalam karya Keselamatan Allah, dengan menjadi Ibu bagi Yesus Sang Penyelamat. Maria menanggapi undangan ini dengan kesediaannya mengizinkan penjelmaan Yesus menjadi manusia dengan mengambil tempat di dalam rahimNya. “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita.” (Yoh 1:14)
Dengan demikian Maria menjadi Hawa yang baru. Sebab oleh ketidak taatan Hawa yang pertama, umat manusia jatuh ke dalam dosa, sedangkan oleh ketaatan Maria (Hawa yang baru) umat manusia. Iman Maria menandai dimulainya Perjanjian Baru
2. Maria secara unik berpartisipasi dalam kurban salib Yesus demi keselamatan umat manusia. Di kaki salib Kristus, Bunda Maria mempersembahkan kepada Allah hak-hakNya sebagai Ibu, segala belas kasih, dan penderitaanNya yang tak terlukiskan melihat Putera-Nya sendiri disiksa sampai wafat.
Maka, dengan mengatakan Maria sebagai Co-Redemptrix, kita tidak menjadikan Bunda Maria sejajar dengan Yesus dalam karya Keselamatan. Bunda Maria sendiri tetap memerlukan Yesus sebagai Juru Selamatnya, dalam hal ini untuk menjadikannya kudus tanpa noda sejak dalam kandungan, dan karena itu tidak mungkin Bunda Maria memiliki kedudukan yang sama dengan Yesus.

Sebegitu besarnya vitalitas keberadaan Maria dalam skenario penyelamatan umat manusia, namun tak sedikitpun mampu melunturkan keasliaan sosok “Ineffabilis Deus” untuk canggung masuk dan menyapa kehidupan kita anak-anaknya. Dia adalah sosok Ibu yang karismatik sekaligus pengasih yang purna.
Mendapat kedudukan yang layak baik di surga maupun di dunia, namun menyentuh tiap kita tanpa memilahkan asal-muasal, suku, bangsa, jenis kelamin maupun saldo kredit yang kita miliki.  Merupakan bentuk kesederhaan yang patut kita “curi” guna melengkapi identitas kita sebagai umat penerus Jalan Salib Kristus, yang kadang meletakkan sesama kita dalam persperktif  parameter duniawi ketika kita membangun kontak interaksi sosial antar sesama kita.
Tidakah cukup, Bunda Maria “menikmati” tajamnya bilah yang menikam lambung deritanya kala Putra Allah wafat  dipangkuan air mata sang Ibu? Hanya sekadar mengingatkan kita bahwa mengkituti  jejak Kristus berarti rela memberi diri untuk menderita. Pula menandaskan bahwa Kasih identik dengan pengorbanan dan ketulusan dalam meratapi derita?
Namun keadaan ini sangat bertolak belakang dengan yang kita lakoni dalam pentas kehidupan kita. Terutama kita yang menyebut diri sebagai anak-anak Bunda maria, kita bahkan membelakangi tingkah laku yang telah diajarkan-Nya pada kita. Entah dalam keadaan sadar maupun tidak, kita telah melunasi derita Bunda Maria.
Akankah kita masih mampu meneladani kesederhaan yang dicontohkan oleh “Dia yang tak bercela” atau setidaknya mampukah kita mengajak “Mahkota Mawar”  tersenyum kala melihat kasih dan kesederhanaan senantiasa melingkupi kehidupan kita.
Semoga…Amin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar